--- "TIDAK SEORANG PUN BOLEH DIUNTUNGKAN OLEH PENYIMPANGAN DAN PELANGGARAN YANG DILAKUKANNYA SENDIRI DAN TIDAK SEORANG PUN BOLEH DIRUGIKAN OLEH PENYIMPANGAN DAN PELANGGARAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG LAIN (NEMO COMMODUM CAPERE POTEST DE INJURIA SUA PROPRIA)” ---

logo law firm

logo law firm




PENGALAMAN PENANGANAN PERKARA

Kuasa Hukum Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) (Selaku Pemohon) dalam Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara No. 58/PHPU.C-VII/2009, tanggal 17 Juni 2009.

Baca selanjutnya ...

Thursday, July 10, 2008

Pentingnya Dialog Masalah

Oleh Tohadi

BEBERAPA hari yang lalu, telah terjadi kerusuhan massa dan
berlanjut sampai kepada pembakaran panggung raja dangdut H Rhoma
Irama, di Pekalongan. Awalnya, sebagaimana dijelaskan oleh KSAD
Jenderal TNI R Hartono di salah satu tayangan media audio-visual
kita, kerusuhan itu dipicu oleh kesalahpahaman sekelompok orang
atas penertiban bendera salah satu organisasi peserta pemilihan
umum (OPP) yang dinilainya tidak adil.

Kesalahpahaman oleh sebagian orang atas masalah tertentu yang
kemudian menjadi sumber mulainya kerusuhan yang merugikan, juga
terjadi pada pengunjung tahun 1996 lalu di Tasikmalaya. Ketika itu
salah seorang kiai (ajengan) pengasuh pondok pesantren di sana
diisukan meninggal dunia akibat tindakan main hakim sendiri oleh
oknum aparat kepolisian.

Setidaknya, dua kasus tersebut dapat menjelaskan kepada kita bahwa
kesalahpahaman atas sebuah masalah kadang dapat menyeret kita pada
bentuk perilaku dan tindakan yang merugikan. Tulisan ini hendak
mencoba merefleksikan betapa dialog tentang suatu masalah amat
penting dilakukan untuk menghindari timbulnya
kesalahpahaman-kesalahpahaman yang merugikan.

Sebagaimana yang ditulis oleh Prof Dr Muhammad Mutawalli
Asysya'rawi dalam bukunya, Ruhul Islam Wa Mazaayaah, yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Jiwa dan
Semangat Islam (1990), tersebutlah cerita menarik antara Khalifah
Umar Ibnu Khattab, Shahabat Hudzaifah, dan Ali Ibnu Abi Thalib
seperti di bawah ini.

Pada suatu hari Sahabat Hudzaifah menghadap Umar di tempat
kediamannya, dan terjadilah dialog berikut.

"Bagaimanakah kabarmu, hai Sahabatku?'' tanya Umar.

"Alhamdulillah, ya Amirul Mukminim. Aku sekarang menjadi orang yang
menyukai fitnah, membenci perkara yang hak, aku menunaikan salat
tanpa wudu, dan aku pun memiliki sesuatu di muka bumi yang Allah
SWT tidak memilikinya,'' jawab Hudzaifah.

Mendengar jawaban seperti itu, Umar tampak terkejut dan sangat
marah. Betapa tidak, karena Hudzaifah telah memberikan jawaban yang
dalam pikiran Umar sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Padahal, Umar pun sangat paham betul Hudzaifah adalah sahabat yang
sangat terkenal saleh dalam menjalankan syariat Islam.

Belum lenyap amarah Umar, mendadak muncul Ali Ibnu Abi Thalib.
Melihat suasana yang begitu tegang, raut muka Umar tampak memerah
menahan marah, Ali pun bertanya, "Wahai Amirul Mukminin, kenapa
Anda kelihatan sangat marah kepada Hudzaifah?''

Kemudian Umar menerangkan kronologi kejadian yang membuatnya
menjadi marah. Akan tetapi, setelah mendengar penuturan Umar
ternyata Ali membenarkan semua ucapan yang disampaikan Hudzaifah.
Ali mengatakan, perkataan Hudzaifah bahwa dirinya menjadi orang
yang menyukai fitnah adalah benar. Sebab, dia memang menyukai harta
dan anak-anaknya. Dan dalam Alquran dinyatakan, "Sesungguhnya harta
dan anak-anakmu adalah fitnah.''

Hudzaifah membenci perkara yang hak, lanjut Ali, maksudnya adalah
membenci kematian. Kematian dalam ajaran Islam adalah perkara yang
hak, akan tetapi manusia tidak menyukainya. Lalu, Khudzaifah
mengatakan salat tanpa wudu, maksudnya tidak lain ia membaca
salawat tanpa wudu. Sebab salat dapat juga diartikan dengan
salawat, dan membaca salawat dibolehkan tanpa harus berwudu.

Terakhir, Hudzaifah menyatakan mempunyai sesuatu di muka bumi yang
tidak dimiliki Allah SWT. Maksudnya, Hudzaifah memiliki istri dan
anak-anak yang Allah jelas tidak memilikinya karena Allah berbeda
dengan makhluk-Nya.

Memahami klarifikasi yang diberikan Ali dengan argumentasi yang
disandarkan pada syariat Islam, Umar kemudian menyadari dan
menyepakati semua pernyataan Hudzaifah. Umar tersadar dari
kemarahannya dan memuji kedalaman pikiran Ali.

Dari cerita tersebut dapatlah diambil pelajaran sejarah yang amat
penting, yaitu bagaimana sesungguhnya kesalahpahaman yang bisa jadi
kan menimbulkan sesuatu yang negatif dapat dijernihkan dengan
adanya dialog masalah.

Dalam kisah itu, tampak Umar sangat marah kepada Hudzaifah karena
telah mengeluarkan pernyataan yang dalam tafsiran Umar sangat
bertentangan dan merendahkan ajaran Islam, sebuah keyakinan yang
dijunjung tinggi olehnya. Kemarahan ini bisa saja akan berlanjut
menjadi bentuk tindakan yang "mencelakakan'' Hudzaifah kalau saja
tidak muncul kedatangan Ali.

Sebagaimana kita maklumi, sesungguhnya watak dasar Umar ialah
sangat keras, lebih-lebih bila berhadapan dengan orang yang
merendahkan agamanya, Islam. Kekerasan watak dan sikap Umar ini
terlihat dari misalnya, bagaimana ia akan dengan serta merta
mencabut pedangnya terhadap orang-orang kafir yang hendak melukai
nabi junjungannya, Muhammad SAW.

Atau ia akan dengan semangat dan tak kenal menyerah manakala tampil
di garis depan peperangan melawan kaum kafir, munafik, dan musyrik
yang akan menghancurkan Islam. Begitulah performance Umar dalam
pengamalan hidup keberagamaannya.

Akan tetapi, untungnya pada saat yang genting seperti itu datang
Ali yang dengan tepat langsung mempertanyakan apa sebabnya Umar
marah dan kemudian secara jernih mampu menafsirkan tiap pernyataan
Hudzaifah dalam konteks Islam. Apa yang dilakukan Ali ini, di satu
sisi dapat menyampaikan maksud konstatasi Hudzaifah secara jelas
dan di sisi lain mampu menghilangkan kemarahan Umar yang
sesungguhnya timbul sebagai akibat kesalahpahamannya dalam
menangkap konstatasi Hudzaifah.

Di sini, Ali telah memotori terjadinya dialog untuk mencairkan
kesalahpahaman Umar kepada Hudzaifah. Ia telah memicu dialog untuk
melempangkan kesalahpahaman tafsir Umar atas konstatasi Hudzaifah.

Berbeda dengan Umar yang memahami perkataan Hudzaifah hanya secara
harfiah, Ali telah melakukan penafsiran atas konstatasi Hudzaifah
secara komprehensif. Tidak saja secara harfiah akan tetapi juga
secara sosiologis, yang Ali mengaitkan pernyataan Hudzaifah dengan
perilaku sehari-harinya dalam praktek sosial keagamaannya.

Bagi Ali, mustahil Hudzaifah mengeluarkan ucapan yang bertentangan
dan merendahkan Islam mengingat ia adalah seorang yang dikenal
saleh dalam pengalaman agama dalam sehari-harinya. Dengan demikian,
cerita ini memberikan refleksi arif kepada kita untuk selau
mengedepankan dialog-dialog masalah dalam menghadapi persoalan yang
muncul.

Dengan dialog inilah kesalahpahaman akan bisa ditemukan
kejelasannya. Lewat dialog ini pula kesalahpahaman yang menimbulkan
kerugian negatif dapat dihindarkan. Semoga.(34k)

-Tohadi,mahasiswa Fakultas Hukum UGM Yogyakarta
Sumber: SUARA MERDEKA, Kamis, 10 April 1997

0 Comments: