--- "TIDAK SEORANG PUN BOLEH DIUNTUNGKAN OLEH PENYIMPANGAN DAN PELANGGARAN YANG DILAKUKANNYA SENDIRI DAN TIDAK SEORANG PUN BOLEH DIRUGIKAN OLEH PENYIMPANGAN DAN PELANGGARAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG LAIN (NEMO COMMODUM CAPERE POTEST DE INJURIA SUA PROPRIA)” ---

logo law firm

logo law firm




PENGALAMAN PENANGANAN PERKARA

Kuasa Hukum Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) (Selaku Pemohon) dalam Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara No. 58/PHPU.C-VII/2009, tanggal 17 Juni 2009.

Baca selanjutnya ...

Monday, September 14, 2009

BIAYA BERPERKARA DI LINGKUNGAN MA

Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin A Tumpa telah menandatangani sebuah peraturan yang mengatur biaya perkara.

Peraturan itu adalah Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2009 tentang Biaya Proses Penyelesaian dan Pengelolaannya pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya.

Di seluruh pengadilan tingkat banding disebutkan biaya proses perkara sebesar Rp 150.000,00. Sedangkan untuk perkara tata usaha negara, biaya berperkara di Pengadilan Tinggi sebesar Rp 250.000,00.

Sementara biaya perkara di tingkat pertama diserahkan kepada kewenangan Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2009.

Berikut ini dapat dilihat biaya berperkara di tingkat MA, sebagaimana ditulis hukumonline.com.

Biaya Perkara di MA

1. Kasasi Perdata, Perdata Agama dan Tata Usaha Negara = Rp 500 ribu
2. Kasasi Perdata Niaga = Rp 5 juta
3. Kasasi Perselisihan Hubungan Industrial yang nilai gugatannya di atas
Rp 150 juta = Rp 500 ribu
4. Peninjauan Kembali Perdata, Perdata Agama dan Tata Usaha Negara = Rp 2,5 juta
5. Peninjauan Kembali Perdata Niaga = Rp 10 juta
6. Peninjauan Kembali Perselisihan Hubungan Industrial yang nilai gugatannya di atas Rp 150 juta = Rp 2,5 juta
7. Hak Uji Materil = Rp 1 juta

Read More......

Saturday, September 5, 2009

PENETAPAN CALEG TERPILIH DPR DARI PENGHITUNGAN KURSI TAHAP KETIGA MEMBUKA CELAH GUGATAN HUKUM BARU

Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Rabu, 3 September 2009 akhirnya menetapkan daftar Caleg Terpilih DPR-DPD RI Periode 2009-2014. Dalam penetapan tersebut KPU sudah barang tentu telah menetapkan Caleg terpilih DPR dari hasil penghitungan kursi tahap ketiga –yang sebelumnya bolak balik dikonsultasikan kepada Mahkamah Konstitusi(MK).

Yang perlu menjadi catatan khususnya dari penetapan itu, bahwa KPU akhirnya menetapkan tata cara penghitungan kursi tahap ketiga untuk anggota DPR dengan tetap menggunakan model vertikal-horizontal (lihat DAFTAR CALEG TERPILIH ANGGOTA DPR).

Artinya bahwa KPU tetap menggunakan dan memedomani ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (2) Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilu, Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009.

Padahal sebelumnya, hasil konsultasi dengan MK bahwa model vertikal-horizontal sudah tidak bisa digunakan menyusul telah keluarnya Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009. (lihat KPU: Perhitungan Tahap Ketiga Berdasarkan Putusan MK).

Dalam hemat penulis, ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (2) Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 secara hukum sudah tidak bisa lagi digunakan untuk menetapkan perolehan kursi DPR tahap ketiga. Sebab, ketentuan itu sudah tergugurkan sendirinya menyusul adanya Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 dan juga Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009.

Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009 terakhir ini tidak menjadi batal dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009. Yang menjadi batal oleh karena adanya Putusan MK-RI Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009 adalah putusan-putusan lembaga peradilan sejuah yang menyangkut tata cara penghitungan kursi DPR untuk tahap kedua, yaitu Putusan MA-RI Nomor 15P/HUM/2009 tanggal 18 Juni 2009.

Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009 secara materiel memuat isi yang sama soal tata cara penghitungan kursi DPR untuk tahap ketiga seagaimana dalam Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009. Bahkan Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009 ini sendiri mendasaran pada Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009.

Berdasarkan pada Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 dan Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009, hemat penulis, sebenarnya sudah dapat ditarik kesimpulan mengenai tata cara pengalokasian kursi tahap ketiga calon anggota DPR:

Pertama, pengalokasian kursi tahap ketiga calon anggota DPR diberikan dengan mengacu pada sisa suara partai politik terbanyak.

Kedua, acuan sisa suara partai politik terbanyak tersebut bukan dibandingkan diantara Dapil-Dapil lain (horizontal) dan sekaligus diantara partai politik lain (vertikal), sebagaimana dianut oleh Peraturan KPU 15 Tahun 2009 Pasal 25. Akan tetapi, yang menjadi acuan sisa suara terbanyak adalah dengan mendahulukan partai politik yang mempunyai sisa suara dari seluruh daerah pemilihan provinsi yang belum diperhitungkan dalam tahap I dan II yang jumlahnya lebih besar atau sama dengan BPP yang baru. Kemudian, kalau ternyata tidak terdapat partai politik yang mempunyai sisa suara lebih atau sama dengan BPP baru, maka sisa kursi dibagikan menurut urutan sisa suara yang terbanyak dalam provinsi dimaksud. Hal ini berarti acuan sisa suara partai politik terbanyak dibandingkan hanya diantara Dapil-Dapil lain (hanya secara horizontal).

Dan Ketiga, dari Dapil tersebut kemudian ditentukan siapa calon anggota DPR yang mempunyai suara terbanyak.

Dengan demikian, langkah KPU yang menetapkan Caleg Terpilih DPR dari hasil penghitungan kursi tahap ketiga dengan tetap mengacu pada ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (2) Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009, yaitu dengan model vertikal-horizontal justru akan membuka peluang bagi munculnya gugatan hukum baru. Karena hal ini menyalahi apa yang menjadi maksud dan diperintahkan oleh Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009. Juga Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009.

Read More......