--- "TIDAK SEORANG PUN BOLEH DIUNTUNGKAN OLEH PENYIMPANGAN DAN PELANGGARAN YANG DILAKUKANNYA SENDIRI DAN TIDAK SEORANG PUN BOLEH DIRUGIKAN OLEH PENYIMPANGAN DAN PELANGGARAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG LAIN (NEMO COMMODUM CAPERE POTEST DE INJURIA SUA PROPRIA)” ---

logo law firm

logo law firm




PENGALAMAN PENANGANAN PERKARA

Kuasa Hukum Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) (Selaku Pemohon) dalam Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara No. 58/PHPU.C-VII/2009, tanggal 17 Juni 2009.

Baca selanjutnya ...

Wednesday, August 19, 2009

KETIDAKPASTIAN PIHAK YANG BERHAK MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI

Dikabulkannya permohonan Peninjauan Kembali (PK) pada tingkat Mahkamah Agung (MA) yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam Perkara Syahril Sabirin dan Djoko S Tjandra menjadi menarik untuk didiskusikan terutama dalam ranah hukum formal, hukum acara pidana.

Menjadi menarik oleh karena peristiwa dikabulkannya PK yang diajukan oleh JPU ini mengundang tanggapan perdebatan. Di satu pihak berpandangan bahwa hal ini melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang sangat dikenal secara Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di dalam ketentuan KUHAP hanya terpidana atau ahli warisnya yang berhak mengajukan PK.

Sedang disisi lain berpendapat bahwa PK yang diajukan oleh selain terpidana atau ahli warisnya dalam hal ini JPU dapat diterima dalam kaitan untuk mencari kebenaran materiel dan mendapatkan keadilan hukum. Di dalam hukum dikenal apa yang dinamakan terobosan hukum, sebagai upaya untuk mencari kebenaran materiel dan mendapatkan keadilan hukum tadi.

Hak Mengajukan PK Menurut KUHAP

Siapakah sebenarnya yang berhak untuk mengajukan PK dalam kasus pidana sebagaimana yang ditentukan oleh KUHAP? Dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP disebutkan:

“Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”

Dari ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP secara tersurat dan tegas bahwa terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Dengan begitu, dari sisi legal formal telah jelas bahwa hak untuk mengajukan PK merupakan hak terpidana atau ahli warisnya.

Pernyataan bahwa hak untuk mengajukan PK merupakan hak terpidana juga sesungguhnya tersurat dalam rumusan Pasal 1 angka 12 KUHAP. Pasal 1 angka 12 KUHAP menyatakan bahwa, yang dimaksud:

“Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Dari ketentuan Pasal 1 angka 12 KUHAP dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya hukum yang dimiliki terdakwa atau penuntut umum adalah hak untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi. Sedangkan bahwa upaya hukum yang dimiliki terpidana ialah hak untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali.

Kontroversi MA dalam Memutus PK

Peristiwa dikabulkannya permohonan PK oleh MA yang diajukan oleh JPU dalam Perkara Syahril Sabirin dan Djoko S Tjandra menjadi kontroversial karena, pertama, bahwa MA dianggap telah melanggar asas kepastian hukum. Dalam ketentuan KUHAP baik Pasal 1 angka 12 maupun Pasal 263 ayat (1) KUHAP secara jelas dan tegas bahwa yang dapat mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya. Dalam kasus ini MA dianggap telah melanggar KUHAP.

Kedua, MA tidak konsisten dalam memutus permohonan PK. Dalam kasus terakhir ini yakni Perkara Syahril Sabirin dan Djoko S Tjandra, MA menerima dan mengabulkan PK yang diajukan JPU. Sementara dalam perkara yang lain, yaitu dalam perkara Mulyar bin Syamsi bahwa pengajuan permohonan PK yang diajukan JPU dinyatakan tidak dapat diterima oleh MA. MA dinilai tidak konsisten dalam menerapkan ketentuan KUHAP.

Dan ketiga, salah satu hakim agung yang menangani kedua perkara baik perkara Mulyar bin Syamsi maupun Perkara Syahril Sabirin dan Djoko S Tjandra tidak memiliki pendapat dan putusan yang sama dalam memutus permohonan PK yang diajukan JPU.

Dalam perkara Mulyar bin Syamsi, Majelis Hakim yang diketuai Iskandar Kamil dengan Hakim Anggota Djoko Sarwoko dan Bahaudin Qaudri, menyatakan bahwa PK yang diajukan JPU tidak dapat diterima. Sedangkan dalam perkara Syahril Sabirin dan Djoko S Tjandra, Majelis Hakim yang diketuai Djoko Sarwoko menerima dan mengabulkan PK yang diajukan JPU.

Dari uraian diatas terlihat bahwa ketentuan atau rumusan KUHAP mengenai pihak yang berhak mengajukan PK yaitu Pasal 1 angka 12 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah diterapkan secara tidak konsisten oleh MA. Penerapann ketentuan atau rumusan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP oleh MA telah menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty).

Judicial Review Kepada MK?

Untuk mewujudkan adanya kepastian dan keadilan hukum kedepan, maka harus ada upaya hukum untuk memastikan mengenai pihak yang berhak mengajukan PK dimaksud. Upaya demikian, hemat penulis, perlu dipetimbangkan untuk melakukan hak uji materiel (judicial review) terhadap Pasal 1 angka 12 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam perkara Syahril Sabirin dan Djoko S Tjandra a quo pihak Syahril Sabirin dan/ atau Djoko S Tjandra dapat menjadi pihak yang berkepentingan dan memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pemohon untuk mengajukan judicial review tersebut. Karena dalam perkara ini, Syahril Sabirin dan/ atau Djoko S Tjandra dapat menyatakan claim sebagai pihak yang dirugikan sebagai akibat diterima dan dikabulkannya PK yang diajukan oleh JPU, sedangkan ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak mengatur secara eksplisit bahwa JPU dapat mengajukan PK.

Putusan MK Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 Sebagai Perbandingan

Pemohon dapat mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP menimbulkan multitafsir sehingga tidak memberikan kepastian hukum (legal uncertainty). Dalam satu perkara ketentuan tersebut ditafsirkan bahwa JPU tidak dapat mengajukan permohonan PK, sedangkan dalam perkara lainnya yang diputus MA bahwa JPU dapat mengajukan permohonan PK.

Sebagai bahan perbandingan hukum, MK dalam prakteknya telah menerima permohonan uji materiel yang mendasarkan pada adanya ketentuan undang-undang yang menimbulkan multitafsir.

Dalam Putusan Perkara Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009 sebagai contoh kasus, pemohon hak uji materiel mendalilkan antara lain bahwa ketentuan Pasal 205 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) telah menimbulkan multitafsir yang berakibat tidak adanya jaminan kepastian hukum.

Pasal 205 ayat (4) UU Pemilu menyatakan bahwa, “Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR”.

Sebagaimana diketahui Pasal 205 ayat (4) UU Pemilu khususnya rumusan frase “suara” dalam praktik penghitungan suara tahap kedua untuk anggota DPR ditafsirkan berbeda antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Mahkamah Agung (MA). Akibat adanya perbedaan penafsiran dalam praktik di lapangan itu kemudian diajukan permohonan kepada MK.

MK dalam putusannya mempertimbangkan permohonan itu dengan menyatakan:

“Menimbang bahwa Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3), dan Pasal 212 ayat (3) UU 10/2008 telah menimbulkan tafsir yang berbeda-beda (multitafsir), seperti perbedaan antara penafsiran yang termuat dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum, Tata Cara Penetapatan Perolehan Kursi, Penetepan Calon Terpilih, dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2009, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2009 dan penafsiran yang termuat dalam Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 012 P/HUM/2009, Nomor 015 P/HUM/2009, dan Nomor 016P/HUM/2009. Multitafsir tersebut telah menimbulkan kontroversi yang tajam di tengah-tengah masyarakat.” (vide Putusan MK Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009, paragraph [3.30] hlm. 101)

Selanjutnya, pemohon dapat memintakan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan jaminan UUD NRI 1945, yakni: (1). Persamaan kedudukan bagi setiap warga negara dalam hukum dan pemerintahan [Pasal 27 ayat (1)]; dan (2). Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum [Pasal 28D ayat (1)].

Pemohon kemudian dapat memohonkan kepada MK agar ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut ditafsirkan dengan tafsiran yang tidak melanggar konstitusi (conditonally constitutional) dalam rangka memberikan jaminan kepastian dan keadilan hukum.

Permohonan conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat sudah diterima sebagai yurisprudensi dalam peradilan di MK. Dalam Putusan Perkara Nomor 102/PUU-VII/2009 tanggal 6 Juli 2009 misalnya, MK telah memberikan putusan jenis conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat ini yang membolehkan penggunaan kartu tanda penduduk (KTP) bagi pemilih yang tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT) untuk memilih dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2009.

Dalam Putusan Perkara Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009, MK pun memberikan putusan jenis conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat dalam menyatakan Pasal Pasal 205 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) berkaitan dengan penghitungan tahap kedua untuk penetapan perolehan kursi DPR bagi partai politik peserta Pemilu.

Dari apa yang telah diuraikan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengenai pihak yang berhak mengajukan permohonan PK kepada MA, dalam praktik hukum diterapkan oleh MA secara berbeda. Pada satu kasus atau perkara tertentu bahwa pengajuan PK yang dilakukan oleh JPU dinyatakan tidak dapat diterima oleh MA. Sebaliknya dalam kasus atau perkara lain, MA telah menerima dan bahkan mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh JPU.

Sebagai upaya untuk mencapai adanya kepastian dan keadilan hukum terutama bagi para pihak yang berperkara di tingkat PK pada MA, maka harus dicarikan upaya atau terobosan hukum untuk memastikan tafsir konstitusional atas ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut. Dan sebagai salah satu upaya hukum yang patut ditempuh, adalah dengan melakukan hak uji materiel (judicial review) atas ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Penulis adalah Advokat dan Direktur Lembaga Analisa Konstitusi dan Negara (LASINA) Jakarta. Contact: 0813 1020 7475, E-mail: moh_tohadi@yahoo.com

0 Comments: