--- "TIDAK SEORANG PUN BOLEH DIUNTUNGKAN OLEH PENYIMPANGAN DAN PELANGGARAN YANG DILAKUKANNYA SENDIRI DAN TIDAK SEORANG PUN BOLEH DIRUGIKAN OLEH PENYIMPANGAN DAN PELANGGARAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG LAIN (NEMO COMMODUM CAPERE POTEST DE INJURIA SUA PROPRIA)” ---

logo law firm

logo law firm




PENGALAMAN PENANGANAN PERKARA

Kuasa Hukum Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) (Selaku Pemohon) dalam Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara No. 58/PHPU.C-VII/2009, tanggal 17 Juni 2009.

Baca selanjutnya ...

Tuesday, August 18, 2009

MAHKAMAH KONSTITUSI TELAH PUTUSKAN TATA CARA PENGHITUNGAN KURSI TAHAP KEDUA

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009 telah menjawab secara tegas mengenai pro kontra tata cara penghitungan kursi tahap kedua untuk anggota DPR.

Sebelum ada Putusan Mahkamah Konstitusi aquo, Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) telah mengeluarkan Putusan MA-RI Nomor 15P/HUM/2009 tanggal 18 Juni 2009 yang membatalkan dan mencabut pasal 22 huruf (c) dan 23 ayat (1) dan (3) Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilu, Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009.
Menurut Putusan MA ini bahwa pasal 22 huruf (c) dan 23 ayat (1) dan (3) Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 bertentangan dengan isi Pasal 205 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Karena sudah secara jelas dan tegas bahwa isi Pasal 205 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2008 adalah mengatur tentang sisa kursi.
MA membenarkan bahwa penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada partai politik yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50 % (lima puluh perseratus) dari BPP DPR. Pasal 205 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2008 ini tidak mengatur bahwa partai politik yang telah mendapat kursi di tahap pertama hanya bisa mengikutsertakan sisa suara dalam penghitungan kursi tahap kedua. Meskipun sisa suara partai politik itu tidak lebih dari 50 % (lima puluh perseratus) dari BPP DPR namun tetap mendapat kursi karena yang dihitung bukan suara sisanya, melainkan suara aslinya. Karena Pasal 205 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2008 itu menyebutkan, partai politik yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50 % (lima puluh perseratus) dari BPP DPR, bukan sisa suara.
Dengan demikian, Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 pasal 22 huruf (c) dan 23 ayat (1) dan (3) yang menyebutkan hanya sisa suara yang diikutsertakan dalam penghitungan perolehan kursi tahap kedua dinilai MA telah bertentangan dengan UU.
Putusan MA-RI Nomor 15P/HUM/2009 tanggal 18 Juni 2009 menyangkut tata cara penghitungan kursi tahap kedua untuk anggota DPR sebagaimana diatas secara materiel kemudian menjadi tidak berlaku menyusul keluarnya Putusan MK-RI Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009. Dalam putusannya itu, MK menyatakan bahwa frasa “suara” pada Pasal 205 ayat (4) UU 10/2008 harus dimaknai sebagai: 1). Sisa suara yang diperoleh partai politik setelah dipergunakan untuk memenuhi BPP; 2). Suara yang belum dipergunakan untuk penghitungan kursi sepanjang mencapai 50% dari BPP.
Mahkamah berpendapat Pasal 205 ayat (4) UU 10/2008 adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Artinya, konstitusional sepanjang dimaknai bahwa penghitungan tahap kedua untuk penetapan perolehan kursi DPR bagi partai politik peserta Pemilu dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Menentukan kesetaraan 50% (lima puluh perseratus) suara sah dari angka BPP, yaitu 50% (lima puluh perseratus) dari angka BPP di setiap daerah pemilihan Anggota DPR;
2. Membagikan sisa kursi pada setiap daerah pemilihan Anggota DPR kepada partai politik peserta Pemilu Anggota DPR, dengan ketentuan:
a. Apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta Pemilu Anggota DPR mencapai sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari angka BPP, maka partai politik tersebut memperoleh 1 (satu) kursi.
b. Apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta Pemilu Anggota DPR tidak mencapai sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari angka BPP dan masih terdapat sisa kursi, maka:
1) Suara sah partai politik yang bersangkutan dikategorikan sebagai sisa suara yang diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap ketiga; dan
2) Sisa suara partai politik yang bersangkutan diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap ketiga.
Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa meskipun UU tentang Mahkamah Konstitusi menentukan putusan Mahkamah bersifat prospektif, akan tetapi untuk perkara a quo, karena sifatnya yang khusus, maka putusan a quo harus dilaksanakan berlaku surut untuk pembagian kusi DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota hasil Pemilu Legislatif Tahun 2009 tanpa ada kompensasi atau ganti rugi atas akibat-akibat yang terlanjur ada dari peraturan-peraturan yang ada sebelumnya. Dan oleh karena Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3), dan Pasal 212 ayat (3) UU 10/2008 telah dinilai oleh Mahkamah sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), maka dengan sendirinya semua isi peraturan atau putusan pengadilan yang tidak sesuai dengan putusan ini menjadi tidak berlaku karena kehilangan dasar pijakannya.
Putusan MK-RI Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009, dengan sendirinya berarti menguatkan tata cara penghitungan kursi tahap kedua untuk anggota DPR yang telah dilakukan sebelumnya oleh KPU dengan landasan Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 pasal 22 huruf (c) dan 23 ayat (1) dan (3).

0 Comments: