--- "TIDAK SEORANG PUN BOLEH DIUNTUNGKAN OLEH PENYIMPANGAN DAN PELANGGARAN YANG DILAKUKANNYA SENDIRI DAN TIDAK SEORANG PUN BOLEH DIRUGIKAN OLEH PENYIMPANGAN DAN PELANGGARAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG LAIN (NEMO COMMODUM CAPERE POTEST DE INJURIA SUA PROPRIA)” ---

logo law firm

logo law firm




PENGALAMAN PENANGANAN PERKARA

Kuasa Hukum Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) (Selaku Pemohon) dalam Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara No. 58/PHPU.C-VII/2009, tanggal 17 Juni 2009.

Baca selanjutnya ...

Tuesday, August 18, 2009

MASALAH TATA CARA PENGALOKASIAN KURSI TAHAP KETIGA CALON ANGGOTA DPR

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009 telah menjawab secara tegas mengenai tata cara penghitungan kursi tahap kedua untuk anggota DPR.


Sebelumnya perdebatan maupun pro-kontra mengenai tata cara penghitungan kursi tahap kedua untuk anggota DPR ramai dibicarakan menyusul keluarnya Putusan MA-RI Nomor 15P/HUM/2009 tanggal 18 Juni 2009. Putusan MA ini membatalkan dan mencabut Pasal 22 huruf (c) dan 23 ayat (1) dan (3) Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilu, Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009.

Dengan telah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009 ini secara materiel Putusan MA-RI Nomor 15P/HUM/2009 tanggal 18 Juni 2009 kemudian menjadi tidak berlaku. Hal ini karena pijakan Putusan MA sebagai dasar untuk menyatakan Pasal 22 huruf (c) dan 23 ayat (1) dan (3) Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 bertentangan dengan UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 205 ayat (4) telah dikoreksi Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah menilai Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3), dan Pasal 212 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2008 sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), sebagaimana ditelah diuraikan dalam putusannnya.

Dan dengan demikian, Putusan MK-RI Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009 dengan sendirinya berarti menguatkan tata cara penghitungan kursi tahap kedua untuk anggota DPR yang telah dilakukan sebelumnya oleh KPU dengan landasan Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 Pasal 22 huruf (c) dan 23 ayat (1) dan (3).

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah tata cara penghitungan kursi tahap ketiga terjawab secara jelas dengan telah adanya Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009? Dan apakah Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memastikan model tata cara pengalokasian kursi tahap ketiga anggota DPR yang final? Hal ini mengingat KPU berencana akan menetapkan anggota DPR terpilih untuk periode tahun 2009 - 2014 pada tanggal 21 Agustus 2009 mendatang.

Tulisan ini akan mendiskusikan sisi hukum terhadap putusan-putusan lembaga peradilan yang ada yakni Putusan MKRI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 dan Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009, maupun Peraturan KPU itu sendiri khususnya Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 mengenai bagaimana tata cara pengalokasian kursi tahap ketiga anggota DPR seharusnya dilakukan oleh KPU.

Melalui Putusan MKRI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009, Mahkamah telah menjawab perbedaan penafsiran mengenai sisa suara yang diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap ketiga calon anggota DPR.
Sebelumnya, terdapat perbedaan pendapat mengenai soal itu. Satu sisi berpendapat bahwa hanya sisa suara dari daerah pemilihan (Dapil) yang masih menyisakan kursi saja yang disetor ke tingkat provinsi untuk penghitungan kursi tahap ketiga calon anggota DPR. KPU dalam menetapkan calon anggota DPR terpilih menggunakan penghitungan model ini, yang kemudian menghasilkan Keputusan KPU Nomor 259/Kpts/KPU/TAHUN 2009 tentang Penetapan Perolehan Kursi Partai Politik Peserta Pemilihan Anggota DPR dalam Pemilu Tahun 2009 bertanggal 11 Mei 2009 dan Keputusan KPU Nomor 286/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Calon terpilih Anggota DPR Secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2009 bertanggal 24 Mei 2009.

Sedangkan di lain pihak, berpandangan bahwa seluruh sisa suara dari seluruh Dapil itulah yang disetor ke tingkat provinsi untuk penghitungan kursi tahap ketiga calon anggota DPR tersebut.
Melalui Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009, Mahkamah telah menguatkan pandangan terakhir ini. Dalam salah satu amar putusannya, Mahkamah menyatakan, "Seluruh sisa suara sah partai politik yaitu suara yang belum diperhitungkan dalam tahap I dan tahap II dari seluruh daerah pemilihan provinsi dijumlahkan untuk dibagi dengan jumlah sisa kursi dari seluruh daerah pemilihan provinsi yang belum teralokasikan untuk mendapatkan angka BPP yang baru" (vide Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 hlm. 133).

Dengan adanya Putusan Mahkamah a quo ini Keputusan KPU Nomor 259/Kpts/KPU/TAHUN 2009 tentang Penetapan Perolehan Kursi Partai Politik Peserta Pemilihan Anggota DPR dalam Pemilu Tahun 2009 bertanggal 11 Mei 2009 dan Keputusan KPU Nomor 286/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Calon terpilih Anggota DPR Secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2009 bertanggal 24 Mei 2009 dibatalkan.

Masalah yang kemudian muncul adalah, bagaimanakah tata cara pengalokasian kursi tahap ketiga calon anggota DPR setelah dilakukan penghitungan kursi tahap ketiga itu sendiri? Bagaimanakah cara menentukan calon anggota DPR terpilih yang berhak untuk menduduki kursi dari hasil penghitungan kursi tahap ketiga itu? Terlebih lagi dihubungkan dengan adanya Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009.

Mengacu pada Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilu, Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009, Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009, dan Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009, hemat penulis, ada beberapa hal yang perlu dicermati berkaitan dengan tata cara pengalokasian kursi tahap ketiga calon anggota DPR.

Pertama, bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 a quo tidak menguji Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilu, Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009.
Dalam Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 pada paragraf [3.24] hlm. 131, dinyatakan:

Menimbang bahwa dalam perkara a quo Mahkamah tidak menguji Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilu, Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009, tetapi menetapkan pelaksanaan ketentuan Pasal 205 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) UU 10/2008 karena Undang-Undang a quo merupakan sumber hukum bagi Mahkamah dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum menurut Pasal 24C UUD 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah;

Oleh karena Mahkamah tidak menguji Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilu, Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009, dengan demikian membuka ruang munculnya pendapat yang menyatakan bahwa selain menyangkut penafsiran mengenai sisa suara yang diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap ketiga calon anggota DPR -- yang kemudian telah dijawab Mahkamah Konstitusi dalam putusan a quo, maka Peraturan KPU tersebut masih tetap berlaku.

Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 mengatur secara pokok bahwa pengalokasian atau penempatan perolehan kursi partai politik untuk tahap ketiga anggota DPR diberikan pada partai politik dari daerah pemilihan (Dapil) yang masih mempunyai sisa kursi dimana sisa suara partai politik yang bersangkutan adalah paling banyak, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (2).

Dengan demikian, prinsip yang diatur oleh Peraturan KPU bahwa alokasi atau penempatan kursi dari hasil penghitungan kursi tahap ketiga diberikan dengan mengacu pada sisa suara partai politik terbanyak, dan kemudian dari Dapil tersebut ditentukan siapa calon anggota DPR yang mempunyai suara terbanyak. Jadi, bukan langsung diberikan kepada calon anggota DPR yang mempunyai suara terbanyak. Namun demikian, dalam Peraturan KPU ini, acuan sisa suara terbanyak partai politik itu dibandingkan diantara Dapil-Dapil lain (horizontal) dan sekaligus diantara partai politik lain (vertikal).

Kedua, dalam amar Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 hlm. 133 angka 6, Mahkamah menyatakan bahwa calon anggota DPR yang berhak mendapatkan atas kursi -- dari hasil penghitungan kursi tahap ketiga -- adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak dalam daerah pemilihan yang masih mempunyai sisa kursi.

Mahkamah menyebutkan dalam amar putusannya:
• Menetapkan penerapan Pasal 205 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang benar adalah sebagai berikut:
...
6. Calon anggota DPR yang berhak atas kursi adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak dalam daerah pemilihan yang masih mempunyai sisa kursi, yang dicalonkan oleh partai politik yang berhak atas sisa kursi; (hlm. 133)

Bunyi amar Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 sebagaimana tersebut diatas menimbulkan pertanyaan mengenai apakah maksud dan pengertian frase kalimat, "... calon yang mendapatkan suara terbanyak..." itu? Apakah maksud dan pengertian dari “calon yang mendapatkan suara terbanyak” ini setelah ditentukan terlebih dahulu Dapil dimana sisa suara partai politik terbanyak, atau sebaliknya bukan dimaksudkan setelah ditentukan Dapil dimana sisa suara partai politik terbanyak atau dengan kata lain bahwa alokasi atau penempatan kursi langsung diberikan kepada calon anggota DPR yang mempunyai suara terbanyak.

Dan ketiga, adanya Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009 yang menyatakan bahwa Pasal 25 Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 pembentukannya bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan lebih tinggi yaitu Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 205 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) dan karenanya tidak sah dan tidak berlaku untuk umum. Dalam Putusasn a quo, MA juga memerintahkan kepada KPU untuk membatalkan dan mencabut Pasal 25 Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009.

Putusan MA ini menjawab dalil Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 25 Peraturan KPU bertentangan dengan asas proporsionalitas. Sebab akan proporsional jika Peraturan Komisi Pemilihan Umum menentukan bahwa partai politik yang memiliki BPP yang didahulukan, dan jika lebih dari satu yang memiliki BPP baru dilihat jumlah suara terbanyak dari anggota parpol yang memiliki BPP, bukan dilihat dari jumlah suara terbanyak tetapi parpolnya tidak memiliki BPP (Bilangan Pembagi Pemilihan).
Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 penghitungan perolehan kursi tahap ketiga dilakukan dengan cara seluruh sisa suara Partai Politik peserta Pemilihan Umum dikumpulkan di Provinsi untuk menentukan Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang baru di Provinsi tersebut. Namun demikian, Pasal 25 Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 justru tidak mensyaratkan adanya Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang baru di Provinsi sebagai pedoman untuk menentukan siapa yang mendapatkan sisa kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Provinsi tersebut.

Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009 mengacu dan mendasarkan pada Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009.

Berdasarkan pada Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009, Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 dan Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009, hemat penulis, sebenarnya sudah dapat ditarik kesimpulan mengenai tata cara pengalokasian kursi tahap ketiga calon anggota DPR: pertama, pengalokasian kursi tahap ketiga calon anggota DPR diberikan dengan mengacu pada sisa suara partai politik terbanyak.

Kedua, acuan sisa suara partai politik terbanyak tersebut bukan dibandingkan diantara Dapil-Dapil lain (horizontal) dan sekaligus diantara partai politik lain (vertikal), sebagaimana dianut oleh Peraturan KPU 15 Tahun 2009 Pasal 25. Akan tetapi, yang menjadi acuan sisa suara terbanyak adalah dengan mendahulukan partai politik yang mempunyai sisa suara dari seluruh daerah pemilihan provinsi yang belum diperhitungkan dalam tahap I dan II yang jumlahnya lebih besar atau sama dengan BPP yang baru. Kemudian, kalau ternyata tidak terdapat partai politik yang mempunyai sisa suara lebih atau sama dengan BPP baru, maka sisa kursi dibagikan menurut urutan sisa suara yang terbanyak dalam provinsi dimaksud. Hal ini berarti acuan sisa suara partai politik terbanyak dibandingkan hanya diantara Dapil-Dapil lain (hanya secara horizontal).

Dan Ketiga, dari Dapil tersebut kemudian ditentukan siapa calon anggota DPR yang mempunyai suara terbanyak.

Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 sesungguhnya menegaskan bahwa yang menjadi pengalokasian kursi tahap ketiga calon anggota DPR adalah berbasis pada sisa suara partai politik terbanyak. Dalam amar Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 hlm. 133 angka 2, angka 4, angka 6, dan angka 7 telah secara tegas dan eksplisit bahwa alokasi atau hak kursi diberikan kepada partai politik. Partai politiklah yang mendapatkan alokasi atau berhak atas kursi tahap ketiga, tidak langsung kepada kepada calon anggota DPR yang mempunyai suara terbanyak.

Partai politik yang didahulukan untuk mendapatkan sisa kursi dalam penghitungan kursi tahap ketiga adalah yang mempunyai sisa suara dari seluruh daerah pemilihan provinsi yang belum diperhitungkan dalam tahap I dan II yang jumlahnya lebih besar atau sama dengan BPP yang baru. Kemudian, kalau ternyata tidak terdapat partai politik yang mempunyai sisa suara lebih atau sama dengan BPP baru, maka sisa kursi dibagikan menurut urutan sisa suara yang terbanyak dalam provinsi dimaksud.

Dengan begitu, jika ada penafsiran terhadap amar Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 hlm. 133 angka 6 dengan menyatakan bahwa maksud dan pengertian dari “calon yang mendapatkan suara terbanyak” bukan dimaksudkan setelah ditentukan Dapil dimana sisa suara partai politik terbanyak atau dengan kata lain bahwa alokasi atau penempatan kursi langsung diberikan kepada calon anggota DPR yang mempunyai suara terbanyak, sangatlah tidak beralasan. Sebab, kalau dibaca secara seksama amar Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 hlm. 133 angka 6 itu terdapat anak kalimat yang berbunyi, “ … yang dicalonkan oleh partai politik yang berhak atas sisa kursi”. Anak kalimat itu menggarisbawahi bunyi kalimat sebelumnya, “Calon anggota DPR yang berhak atas kursi adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak dalam daerah pemilihan yang masih mempunyai sisa kursi…”. Dengan demikian, alokasi kursi tahap ketiga tersebut merupakan hak partai politik, kemudian partai politik akan mengalokasikan kursi itu kepada calon yang mendapatkan suara terbanyak dalam daerah pemilihan yang masih mempunyai sisa kursi.

Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 pada prinsipnya juga mengatur bahwa pengalokasian atau penempatan perolehan kursi partai politik untuk tahap ketiga anggota DPR diberikan pada partai politik dari daerah pemilihan (Dapil) yang masih mempunyai sisa kursi dimana sisa suara partai politik yang bersangkutan adalah paling banyak. Hanya masalahnya adalah, bahwa acuan sisa suara terbanyak partai politik menurut ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (2) Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 adalah dibandingkan diantara Dapil-Dapil lain (horizontal) dan sekaligus diantara partai politik lain (vertikal). Acuan secara horizontal dan vertikal sebagaimana ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (2) Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 ini telah dibatalkan oleh Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009.

Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009 yang mengacu dan mendasarkan pada Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 demikian halnya telah memperkuat tata cara pengalokasian kursi tahap ketiga calon anggota DPR dengan berbasis pada sisa suara partai politik terbanyak dengan mendahulukan partai politik yang mempunyai sisa suara yang jumlahnya lebih besar atau sama dengan BPP yang baru, sebagaimana ditetapkan dalam Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009.

Argumentasi bahwa hasil penghitungan Tahap Ketiga adalah merupakan hak atau jatah kursi partai politik --bukan secara langsung diberikan kepada calon yang mendapatkan suara terbanyak-- secara tegas juga diatur dalam ketentuan Pasal 205 ayat (7) dan Pasal 206 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu).

Ketentuan Pasal 205 ayat (7) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disebut: UU Pemilu), yang menyebutkan:

Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan cara memberikan kursi kepada partai politik yang mencapai BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan.

Kemudian juga sebagaimana maksud ketentuan Pasal 206 UU Pemilu yang menyatakan:
Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dengan BPP DPR yang baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205, penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi kepada Partai Politik Peserta Pemilu di provinsi satu demi satu berturut-turut sampai semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak.

Dari apa yang telah dikemukakan diatas, KPU kiranya perlu segera melakukan langkah berkaitan dengan tata cara pengalokasian kursi tahap ketiga calon anggota DPR. Dalam hal ini KPU harus secepatnya membatalkan dan mencabut ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (2) Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 dan selanjutnya melakukan revisi atas Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 dengan menyesuaikan pada Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009, Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009 dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu).

Dan untuk mewujudkan adanya kepastian dan rasa keadilan dalam penentuan tata cara pengalokasian kursi tahap ketiga anggota DPR, maka KPU harus memastikan model tata cara pengalokasian kursi tahap ketiga anggota DPR yang final sebagai landasan dalam penentuan hal tersebut.

Langkah KPU seperti itu perlu dilakukan oleh karena penentuan tata cara pengalokasian kursi tahap ketiga anggota DPR tersebut bukan saja karena menyangkut "nasib" orang dalam hal ini calon anggota DPR yang berpeluang jadi dalam penghitungan dan pengalokasian kursi tahap ketiga. Lebih dari itu, hal ini penting dilakukan oleh KPU sebagai bentuk penghargaan demokrasi atas suara warga Negara yang telah menentukan pilihannya terhadap calon anggota DPR dimaksud.

0 Comments: