--- "TIDAK SEORANG PUN BOLEH DIUNTUNGKAN OLEH PENYIMPANGAN DAN PELANGGARAN YANG DILAKUKANNYA SENDIRI DAN TIDAK SEORANG PUN BOLEH DIRUGIKAN OLEH PENYIMPANGAN DAN PELANGGARAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG LAIN (NEMO COMMODUM CAPERE POTEST DE INJURIA SUA PROPRIA)” ---

logo law firm

logo law firm




PENGALAMAN PENANGANAN PERKARA

Kuasa Hukum Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) (Selaku Pemohon) dalam Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara No. 58/PHPU.C-VII/2009, tanggal 17 Juni 2009.

Baca selanjutnya ...

Monday, September 14, 2009

BIAYA BERPERKARA DI LINGKUNGAN MA

Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin A Tumpa telah menandatangani sebuah peraturan yang mengatur biaya perkara.

Peraturan itu adalah Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2009 tentang Biaya Proses Penyelesaian dan Pengelolaannya pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya.

Di seluruh pengadilan tingkat banding disebutkan biaya proses perkara sebesar Rp 150.000,00. Sedangkan untuk perkara tata usaha negara, biaya berperkara di Pengadilan Tinggi sebesar Rp 250.000,00.

Sementara biaya perkara di tingkat pertama diserahkan kepada kewenangan Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2009.

Berikut ini dapat dilihat biaya berperkara di tingkat MA, sebagaimana ditulis hukumonline.com.

Biaya Perkara di MA

1. Kasasi Perdata, Perdata Agama dan Tata Usaha Negara = Rp 500 ribu
2. Kasasi Perdata Niaga = Rp 5 juta
3. Kasasi Perselisihan Hubungan Industrial yang nilai gugatannya di atas
Rp 150 juta = Rp 500 ribu
4. Peninjauan Kembali Perdata, Perdata Agama dan Tata Usaha Negara = Rp 2,5 juta
5. Peninjauan Kembali Perdata Niaga = Rp 10 juta
6. Peninjauan Kembali Perselisihan Hubungan Industrial yang nilai gugatannya di atas Rp 150 juta = Rp 2,5 juta
7. Hak Uji Materil = Rp 1 juta

Read More......

Saturday, September 5, 2009

PENETAPAN CALEG TERPILIH DPR DARI PENGHITUNGAN KURSI TAHAP KETIGA MEMBUKA CELAH GUGATAN HUKUM BARU

Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Rabu, 3 September 2009 akhirnya menetapkan daftar Caleg Terpilih DPR-DPD RI Periode 2009-2014. Dalam penetapan tersebut KPU sudah barang tentu telah menetapkan Caleg terpilih DPR dari hasil penghitungan kursi tahap ketiga –yang sebelumnya bolak balik dikonsultasikan kepada Mahkamah Konstitusi(MK).

Yang perlu menjadi catatan khususnya dari penetapan itu, bahwa KPU akhirnya menetapkan tata cara penghitungan kursi tahap ketiga untuk anggota DPR dengan tetap menggunakan model vertikal-horizontal (lihat DAFTAR CALEG TERPILIH ANGGOTA DPR).

Artinya bahwa KPU tetap menggunakan dan memedomani ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (2) Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilu, Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009.

Padahal sebelumnya, hasil konsultasi dengan MK bahwa model vertikal-horizontal sudah tidak bisa digunakan menyusul telah keluarnya Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009. (lihat KPU: Perhitungan Tahap Ketiga Berdasarkan Putusan MK).

Dalam hemat penulis, ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (2) Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 secara hukum sudah tidak bisa lagi digunakan untuk menetapkan perolehan kursi DPR tahap ketiga. Sebab, ketentuan itu sudah tergugurkan sendirinya menyusul adanya Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 dan juga Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009.

Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009 terakhir ini tidak menjadi batal dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009. Yang menjadi batal oleh karena adanya Putusan MK-RI Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009 adalah putusan-putusan lembaga peradilan sejuah yang menyangkut tata cara penghitungan kursi DPR untuk tahap kedua, yaitu Putusan MA-RI Nomor 15P/HUM/2009 tanggal 18 Juni 2009.

Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009 secara materiel memuat isi yang sama soal tata cara penghitungan kursi DPR untuk tahap ketiga seagaimana dalam Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009. Bahkan Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009 ini sendiri mendasaran pada Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009.

Berdasarkan pada Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 dan Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009, hemat penulis, sebenarnya sudah dapat ditarik kesimpulan mengenai tata cara pengalokasian kursi tahap ketiga calon anggota DPR:

Pertama, pengalokasian kursi tahap ketiga calon anggota DPR diberikan dengan mengacu pada sisa suara partai politik terbanyak.

Kedua, acuan sisa suara partai politik terbanyak tersebut bukan dibandingkan diantara Dapil-Dapil lain (horizontal) dan sekaligus diantara partai politik lain (vertikal), sebagaimana dianut oleh Peraturan KPU 15 Tahun 2009 Pasal 25. Akan tetapi, yang menjadi acuan sisa suara terbanyak adalah dengan mendahulukan partai politik yang mempunyai sisa suara dari seluruh daerah pemilihan provinsi yang belum diperhitungkan dalam tahap I dan II yang jumlahnya lebih besar atau sama dengan BPP yang baru. Kemudian, kalau ternyata tidak terdapat partai politik yang mempunyai sisa suara lebih atau sama dengan BPP baru, maka sisa kursi dibagikan menurut urutan sisa suara yang terbanyak dalam provinsi dimaksud. Hal ini berarti acuan sisa suara partai politik terbanyak dibandingkan hanya diantara Dapil-Dapil lain (hanya secara horizontal).

Dan Ketiga, dari Dapil tersebut kemudian ditentukan siapa calon anggota DPR yang mempunyai suara terbanyak.

Dengan demikian, langkah KPU yang menetapkan Caleg Terpilih DPR dari hasil penghitungan kursi tahap ketiga dengan tetap mengacu pada ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (2) Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009, yaitu dengan model vertikal-horizontal justru akan membuka peluang bagi munculnya gugatan hukum baru. Karena hal ini menyalahi apa yang menjadi maksud dan diperintahkan oleh Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009. Juga Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009.

Read More......

Wednesday, August 26, 2009

ALAMAT LEMBAGA PERADILAN

MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Jl. Medan Merdeka Barat No. 6
JAKARTA, 10110

PT JAKARTA
JI. Letjen. Suprapto Jakarta 10510
Telepon: 021-4252069 - Fax: 021-4265503
JAKARTA - D.K.I. JAKARTA

• PN. JAKARTA PUSAT
Jl. Gajah Mada No. 17 Jakarta 10130
Telepon: 021-63850223 - Fax: 021-6348630
JAKARTA - D.K.I. JAKARTA

• PN. JAKARTA BARAT
Jl. Letjen. S. Parman No. 71 Slipi Jakarta 11410
Telepon: 012-5359831 - Fax: 012-5359832
JAKARTA - D.K.I. JAKARTA

• PN. JAKARTA SELATAN
Jl. Ampera Raya No. 133 Ragunan - Jakarta 12550
Telepon: 021-7805909 - Fax: 021-7805906
JAKARTA - D.K.I. JAKARTA

• PN. JAKARTA UTARA
Jl. Laks. RE. Martadinata No. 4 Ancol Selatan Jakarta 14350
Telepon: 021-64710276 - Fax: 021-6451575
JAKARTA - D.K.I. JAKARTA

• PN. JAKARTA TIMUR
JI. Jend. A. Yani No. 1 Pulo Mas Jakarta 13210
Telepon: 021-4897558 - Fax: 021-475 1207
JAKARTA - D.K.I. JAKARTA

PTA JAKARTA
Jl. Raden Intan II No.3 Duren Sawit Jakarta 13440
Telepon: 021-86902313 - Fax: 021-86902314
JAKARTA - D.K.I. JAKARTA

• PA. JAKARTA PUSAT
JI. KH. Mas Mansyur Gg. H. Awaludin II/2 Jakarta 10230
Telepon: 021-31927910 - Fax: 021-3161118
JAKARTA - D.K.I. JAKARTA

• PA. JAKARTA BARAT
Jl. Plamboyan II No. 2 Jakarta 11560
Telepon: 021-55951554 - Fax: 021-55963233
JAKARTA - D.K.I. JAKARTA

• PA. JAKARTA SELATAN
Jl. Rambutan VII No. 48 Kel. Pejaten Barat Pasar Minggu - Jakarta 12510
Telepon: 021-7901323 - Fax:
JAKARTA - D.K.I. JAKARTA

• PA. JAKARTA UTARA
JI. Plumpang Semper No. 3 Tanjung Priok Jakarta 14260
Telepon: 021-43935317 - Fax:
JAKARTA - D.K.I. JAKARTA

• PA. JAKARTA TIMUR
JI. Raya PKP No. 24 Kelapa Dua Wetan Ciracas Jakarta 13730
Telepon: 021-70801886 - Fax: 021-87717549
JAKARTA - D.K.I. JAKARTA

PT.TUN JAKARTA
Jl. Cikini Raya No. 117 Jakarta 10330
Telepon: 021-31926163 - Fax:
JAKARTA - D.K.I. JAKARTA
1. P.TUN JAKARTA
2. P.TUN BANDUNG
3. P.TUN PONTIANAK
4. P.TUN BANJARMASIN
5. P.TUN PALANGKARAYA
6. P.TUN SAMARINDA

P.TUN JAKARTA
Jl. A. Sentra Primer Baru Timur ( Depan Kantor Walikota ) Pulo Gebang, Jakarta 13950
Telepon: 021-4805256 - Fax: 021-4803856
JAKARTA - D.K.I. JAKARTA

• P.TUN BANDUNG
Jl. Diponegoro No. 34 Bandung 40115
Telepon: 022-7272189 - Fax: 022-7271863
BANDUNG - JAWA BARAT

• P.TUN PONTIANAK
Jl. Jend. A. Yani No. 10 Pontianak 78124
Telepon: 0561-710614 - Fax: 0561-711444
PONTIANAK - KALIMANTAN BARAT

• P.TUN BANJARMASIN
Jl. Brigjen H. Hasan Basri No. 34 Banjar masin 70123
Telepon: 0511-3300393 - Fax: 0511-300072
BANJARMASIN - KALIMANTAN SELATAN

• P.TUN PALANGKARAYA
Jl. Cilik Riwud Km. 4,5 Palangkaraya 73112
Telepon: 0536-3231111 - Fax: 0536-3231165
PALANGKARAYA - KALIMANTAN TENGAH

• P.TUN SAMARINDA
Jl. Bung Tomo No. 136 Samarinda Sebrang 75132
Telepon: 0541-262062 - Fax: 0541-260659
SAMARINDA - KALIMANTAN TIMUR

PT.TUN SURABAYA
Jl. Ketintang Madya VI No. 2 Surabaya 60232
Telepon: 031-8288622 - Fax: 031-8298707
SURABAYA - JAWA TIMUR
1. P.TUN DENPASAR
2. P.TUN YOGYAKARTA
3. P.TUN SEMARANG
4. P.TUN SURABAYA
5. P.TUN MATARAM
6. P.TUN KUPANG

• P.TUN DENPASAR
Jl. Kapten Cok Agung Tresna No. 4 Niti Mandala Renon Denpasar 80235
Telepon: 0361-236058 - Fax: 0361-236213
DENPASAR - BALI

• P.TUN YOGYAKARTA
Jl. Janti No. 66 Bangun Tapan Bantul Yogyakarta 55198
Telepon: 0274-581675 - Fax: 0274-560546
YOGYAKARTA - D.I. YOGYAKARTA

• P.TUN SEMARANG
Jl. Abdurrachman Saleh No. 89 Semarang 50145
Telepon: 024-7607413 - Fax:
SEMARANG - JAWA TENGAH

• P.TUN SURABAYA
Jl. Letjen Sutoyo No. 266 Medaeng Waru Sidoarjo Surabaya 61256
Telepon: 031-8533883 - Fax:
SURABAYA - JAWA TIMUR

• P.TUN MATARAM
Jl. DR. Sudjono Lingkar Selatan Mataram 83115
Telepon: 0370-640680 - Fax: 0370-623423
MATARAM - NUSA TENGGARA BARAT

• P.TUN KUPANG
Jl. Palapa No. 16 A Kupang 85111
Telepon: 0380-821026 - Fax: 0380-7613310
KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR

PT.TUN MAKASSAR
Jl. AP. Pettarani No. 45 Makassar 90231
Telepon: 0411-452773 - Fax: 0411-452016
MAKASSAR - SULAWESI SELATAN
1. P.TUN JAYAPURA
2. P.TUN AMBON
3. P.TUN MAKASSAR
4. P.TUN PALU
5. P.TUN KENDARI
6. P.TUN MANADO

• P.TUN JAYAPURA
Jl. Raya Sentani - Waena Jayapura 99358
Telepon: 0967-571216 - Fax: 0967-571639
JAYAPURA - IRIAN JAYA

• P.TUN AMBON
Jl. Wolter Monginsidi No. 168 Ambon 97231
Telepon: 0911-361044 - Fax: 0911-361045
AMBON - MALUKU

• P.TUN MAKASSAR
Jl. Pendidikan No. 1 Makassar 90222
Telepon: 0411-868784 - Fax: 0411-885720
MAKASSAR - SULAWESI SELATAN

• P.TUN PALU
Jl. Prof. Moh. Yamin No. 52 Sulawesi Tengah 94121
Telepon: 0451-483385 - Fax:
PALU - SULAWESI TENGAH

• P.TUN KENDARI
Jl. Raya Andonohu No.7 Kendari 93232
Telepon: 0401-328674 - Fax:
KENDARI - SULAWESI TENGGARA

• P.TUN MANADO
Jl. Pumorouw No. 66 Manado 95125
Telepon: 0431-853765 - Fax: 0431-853765
MANADO - SULAWESI UTARA

PT.TUN MEDAN
Jl. Peratun Komplek Medan Estate Medan 20371
Telepon: 061-6627855 - Fax: 061-6617552
MEDAN - SUMATRA UTARA
1. P.TUN BENGKULU
2. P.TUN JAMBI
3. P.TUN BANDAR LAMPUNG
4. P.TUN BANDA ACEH
5. P.TUN PAKANBARU
6. P.TUN PADANG
7. P.TUN PALEMBANG
8. P.TUN MEDAN

• P.TUN BENGKULU
Jl. R. E. Martadinata No. 1 Bengkulu 38004
Telepon: 0736-52011 - Fax:
BENGKULU - BENGKULU

• P.TUN JAMBI
Jl. Kolonel M. Kukuh No. 1 Jambi 36128
Telepon: 0741-41986 - Fax: 0741-41986
JAMBI - JAMBI

• P.TUN BANDAR LAMPUNG
Jl. Pangeran Emir M. Noor, SH No. 27 Bandar Lampung 35116
Telepon: 0721-258320 - Fax: 0721-258320
BANDAR LAMPUNG - LAMPUNG

• P.TUN BANDA ACEH
Jl. R. Moch. Tohir No. 25 Banda Aceh 23247
Telepon: 0651-24896 - Fax: 0651-27883
BANDA ACEH - NANGROE ACEH DARUSSALAM

• P.TUN PAKANBARU
Jl HR. Subrantas Pekanbaru - Riau 28294
Telepon: 0761-64003 - Fax: 0761-66455
PAKANBARU - RIAU

• P.TUN PADANG
Jl. Diponegoro No. 8 Padang 25117
Telepon: 0751-28400 - Fax: 0751-28400
PADANG - SUMATRA BARAT

• P.TUN PALEMBANG
Jl. Jend A. Yani 14 Ulu No. 67 Palembang 30264
Telepon: 0711-513120 - Fax: 0711-513120
PALEMBANG - SUMATRA SELATAN

• P.TUN MEDAN
Jl. Listrik Np. 10 Gd. BHP Medan 20112
Telepon: 061-4168713 - Fax: 061-4565311
MEDAN - SUMATRA UTARA

DILMILTAMA
Jl. Sentra Primer Baru Timur Pulo Gebang Jakarta 13950
Telepon: 021-4807719 - Fax:
- D.K.I. JAKARTA
1. DILMILTI II
2. DILMILTI III
3. DILMILTI

• DILMILTI
Jl. P. Diponegoro No. 40 Medan 20152
Telepon: 061-4555351 - Fax:
MEDAN - SUMATRA UTARA

Read More......

Wednesday, August 19, 2009

KETIDAKPASTIAN PIHAK YANG BERHAK MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI

Dikabulkannya permohonan Peninjauan Kembali (PK) pada tingkat Mahkamah Agung (MA) yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam Perkara Syahril Sabirin dan Djoko S Tjandra menjadi menarik untuk didiskusikan terutama dalam ranah hukum formal, hukum acara pidana.

Menjadi menarik oleh karena peristiwa dikabulkannya PK yang diajukan oleh JPU ini mengundang tanggapan perdebatan. Di satu pihak berpandangan bahwa hal ini melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang sangat dikenal secara Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di dalam ketentuan KUHAP hanya terpidana atau ahli warisnya yang berhak mengajukan PK.

Sedang disisi lain berpendapat bahwa PK yang diajukan oleh selain terpidana atau ahli warisnya dalam hal ini JPU dapat diterima dalam kaitan untuk mencari kebenaran materiel dan mendapatkan keadilan hukum. Di dalam hukum dikenal apa yang dinamakan terobosan hukum, sebagai upaya untuk mencari kebenaran materiel dan mendapatkan keadilan hukum tadi.

Hak Mengajukan PK Menurut KUHAP

Siapakah sebenarnya yang berhak untuk mengajukan PK dalam kasus pidana sebagaimana yang ditentukan oleh KUHAP? Dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP disebutkan:

“Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”

Dari ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP secara tersurat dan tegas bahwa terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Dengan begitu, dari sisi legal formal telah jelas bahwa hak untuk mengajukan PK merupakan hak terpidana atau ahli warisnya.

Pernyataan bahwa hak untuk mengajukan PK merupakan hak terpidana juga sesungguhnya tersurat dalam rumusan Pasal 1 angka 12 KUHAP. Pasal 1 angka 12 KUHAP menyatakan bahwa, yang dimaksud:

“Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Dari ketentuan Pasal 1 angka 12 KUHAP dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya hukum yang dimiliki terdakwa atau penuntut umum adalah hak untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi. Sedangkan bahwa upaya hukum yang dimiliki terpidana ialah hak untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali.

Kontroversi MA dalam Memutus PK

Peristiwa dikabulkannya permohonan PK oleh MA yang diajukan oleh JPU dalam Perkara Syahril Sabirin dan Djoko S Tjandra menjadi kontroversial karena, pertama, bahwa MA dianggap telah melanggar asas kepastian hukum. Dalam ketentuan KUHAP baik Pasal 1 angka 12 maupun Pasal 263 ayat (1) KUHAP secara jelas dan tegas bahwa yang dapat mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya. Dalam kasus ini MA dianggap telah melanggar KUHAP.

Kedua, MA tidak konsisten dalam memutus permohonan PK. Dalam kasus terakhir ini yakni Perkara Syahril Sabirin dan Djoko S Tjandra, MA menerima dan mengabulkan PK yang diajukan JPU. Sementara dalam perkara yang lain, yaitu dalam perkara Mulyar bin Syamsi bahwa pengajuan permohonan PK yang diajukan JPU dinyatakan tidak dapat diterima oleh MA. MA dinilai tidak konsisten dalam menerapkan ketentuan KUHAP.

Dan ketiga, salah satu hakim agung yang menangani kedua perkara baik perkara Mulyar bin Syamsi maupun Perkara Syahril Sabirin dan Djoko S Tjandra tidak memiliki pendapat dan putusan yang sama dalam memutus permohonan PK yang diajukan JPU.

Dalam perkara Mulyar bin Syamsi, Majelis Hakim yang diketuai Iskandar Kamil dengan Hakim Anggota Djoko Sarwoko dan Bahaudin Qaudri, menyatakan bahwa PK yang diajukan JPU tidak dapat diterima. Sedangkan dalam perkara Syahril Sabirin dan Djoko S Tjandra, Majelis Hakim yang diketuai Djoko Sarwoko menerima dan mengabulkan PK yang diajukan JPU.

Dari uraian diatas terlihat bahwa ketentuan atau rumusan KUHAP mengenai pihak yang berhak mengajukan PK yaitu Pasal 1 angka 12 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah diterapkan secara tidak konsisten oleh MA. Penerapann ketentuan atau rumusan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP oleh MA telah menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty).

Judicial Review Kepada MK?

Untuk mewujudkan adanya kepastian dan keadilan hukum kedepan, maka harus ada upaya hukum untuk memastikan mengenai pihak yang berhak mengajukan PK dimaksud. Upaya demikian, hemat penulis, perlu dipetimbangkan untuk melakukan hak uji materiel (judicial review) terhadap Pasal 1 angka 12 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam perkara Syahril Sabirin dan Djoko S Tjandra a quo pihak Syahril Sabirin dan/ atau Djoko S Tjandra dapat menjadi pihak yang berkepentingan dan memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pemohon untuk mengajukan judicial review tersebut. Karena dalam perkara ini, Syahril Sabirin dan/ atau Djoko S Tjandra dapat menyatakan claim sebagai pihak yang dirugikan sebagai akibat diterima dan dikabulkannya PK yang diajukan oleh JPU, sedangkan ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak mengatur secara eksplisit bahwa JPU dapat mengajukan PK.

Putusan MK Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 Sebagai Perbandingan

Pemohon dapat mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP menimbulkan multitafsir sehingga tidak memberikan kepastian hukum (legal uncertainty). Dalam satu perkara ketentuan tersebut ditafsirkan bahwa JPU tidak dapat mengajukan permohonan PK, sedangkan dalam perkara lainnya yang diputus MA bahwa JPU dapat mengajukan permohonan PK.

Sebagai bahan perbandingan hukum, MK dalam prakteknya telah menerima permohonan uji materiel yang mendasarkan pada adanya ketentuan undang-undang yang menimbulkan multitafsir.

Dalam Putusan Perkara Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009 sebagai contoh kasus, pemohon hak uji materiel mendalilkan antara lain bahwa ketentuan Pasal 205 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) telah menimbulkan multitafsir yang berakibat tidak adanya jaminan kepastian hukum.

Pasal 205 ayat (4) UU Pemilu menyatakan bahwa, “Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR”.

Sebagaimana diketahui Pasal 205 ayat (4) UU Pemilu khususnya rumusan frase “suara” dalam praktik penghitungan suara tahap kedua untuk anggota DPR ditafsirkan berbeda antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Mahkamah Agung (MA). Akibat adanya perbedaan penafsiran dalam praktik di lapangan itu kemudian diajukan permohonan kepada MK.

MK dalam putusannya mempertimbangkan permohonan itu dengan menyatakan:

“Menimbang bahwa Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3), dan Pasal 212 ayat (3) UU 10/2008 telah menimbulkan tafsir yang berbeda-beda (multitafsir), seperti perbedaan antara penafsiran yang termuat dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum, Tata Cara Penetapatan Perolehan Kursi, Penetepan Calon Terpilih, dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2009, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2009 dan penafsiran yang termuat dalam Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 012 P/HUM/2009, Nomor 015 P/HUM/2009, dan Nomor 016P/HUM/2009. Multitafsir tersebut telah menimbulkan kontroversi yang tajam di tengah-tengah masyarakat.” (vide Putusan MK Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009, paragraph [3.30] hlm. 101)

Selanjutnya, pemohon dapat memintakan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan jaminan UUD NRI 1945, yakni: (1). Persamaan kedudukan bagi setiap warga negara dalam hukum dan pemerintahan [Pasal 27 ayat (1)]; dan (2). Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum [Pasal 28D ayat (1)].

Pemohon kemudian dapat memohonkan kepada MK agar ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut ditafsirkan dengan tafsiran yang tidak melanggar konstitusi (conditonally constitutional) dalam rangka memberikan jaminan kepastian dan keadilan hukum.

Permohonan conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat sudah diterima sebagai yurisprudensi dalam peradilan di MK. Dalam Putusan Perkara Nomor 102/PUU-VII/2009 tanggal 6 Juli 2009 misalnya, MK telah memberikan putusan jenis conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat ini yang membolehkan penggunaan kartu tanda penduduk (KTP) bagi pemilih yang tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT) untuk memilih dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2009.

Dalam Putusan Perkara Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009, MK pun memberikan putusan jenis conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat dalam menyatakan Pasal Pasal 205 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) berkaitan dengan penghitungan tahap kedua untuk penetapan perolehan kursi DPR bagi partai politik peserta Pemilu.

Dari apa yang telah diuraikan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengenai pihak yang berhak mengajukan permohonan PK kepada MA, dalam praktik hukum diterapkan oleh MA secara berbeda. Pada satu kasus atau perkara tertentu bahwa pengajuan PK yang dilakukan oleh JPU dinyatakan tidak dapat diterima oleh MA. Sebaliknya dalam kasus atau perkara lain, MA telah menerima dan bahkan mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh JPU.

Sebagai upaya untuk mencapai adanya kepastian dan keadilan hukum terutama bagi para pihak yang berperkara di tingkat PK pada MA, maka harus dicarikan upaya atau terobosan hukum untuk memastikan tafsir konstitusional atas ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut. Dan sebagai salah satu upaya hukum yang patut ditempuh, adalah dengan melakukan hak uji materiel (judicial review) atas ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Penulis adalah Advokat dan Direktur Lembaga Analisa Konstitusi dan Negara (LASINA) Jakarta. Contact: 0813 1020 7475, E-mail: moh_tohadi@yahoo.com

Read More......

Tuesday, August 18, 2009

MASALAH TATA CARA PENGALOKASIAN KURSI TAHAP KETIGA CALON ANGGOTA DPR

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009 telah menjawab secara tegas mengenai tata cara penghitungan kursi tahap kedua untuk anggota DPR.


Sebelumnya perdebatan maupun pro-kontra mengenai tata cara penghitungan kursi tahap kedua untuk anggota DPR ramai dibicarakan menyusul keluarnya Putusan MA-RI Nomor 15P/HUM/2009 tanggal 18 Juni 2009. Putusan MA ini membatalkan dan mencabut Pasal 22 huruf (c) dan 23 ayat (1) dan (3) Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilu, Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009.

Dengan telah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009 ini secara materiel Putusan MA-RI Nomor 15P/HUM/2009 tanggal 18 Juni 2009 kemudian menjadi tidak berlaku. Hal ini karena pijakan Putusan MA sebagai dasar untuk menyatakan Pasal 22 huruf (c) dan 23 ayat (1) dan (3) Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 bertentangan dengan UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 205 ayat (4) telah dikoreksi Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah menilai Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3), dan Pasal 212 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2008 sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), sebagaimana ditelah diuraikan dalam putusannnya.

Dan dengan demikian, Putusan MK-RI Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009 dengan sendirinya berarti menguatkan tata cara penghitungan kursi tahap kedua untuk anggota DPR yang telah dilakukan sebelumnya oleh KPU dengan landasan Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 Pasal 22 huruf (c) dan 23 ayat (1) dan (3).

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah tata cara penghitungan kursi tahap ketiga terjawab secara jelas dengan telah adanya Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009? Dan apakah Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memastikan model tata cara pengalokasian kursi tahap ketiga anggota DPR yang final? Hal ini mengingat KPU berencana akan menetapkan anggota DPR terpilih untuk periode tahun 2009 - 2014 pada tanggal 21 Agustus 2009 mendatang.

Tulisan ini akan mendiskusikan sisi hukum terhadap putusan-putusan lembaga peradilan yang ada yakni Putusan MKRI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 dan Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009, maupun Peraturan KPU itu sendiri khususnya Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 mengenai bagaimana tata cara pengalokasian kursi tahap ketiga anggota DPR seharusnya dilakukan oleh KPU.

Melalui Putusan MKRI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009, Mahkamah telah menjawab perbedaan penafsiran mengenai sisa suara yang diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap ketiga calon anggota DPR.
Sebelumnya, terdapat perbedaan pendapat mengenai soal itu. Satu sisi berpendapat bahwa hanya sisa suara dari daerah pemilihan (Dapil) yang masih menyisakan kursi saja yang disetor ke tingkat provinsi untuk penghitungan kursi tahap ketiga calon anggota DPR. KPU dalam menetapkan calon anggota DPR terpilih menggunakan penghitungan model ini, yang kemudian menghasilkan Keputusan KPU Nomor 259/Kpts/KPU/TAHUN 2009 tentang Penetapan Perolehan Kursi Partai Politik Peserta Pemilihan Anggota DPR dalam Pemilu Tahun 2009 bertanggal 11 Mei 2009 dan Keputusan KPU Nomor 286/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Calon terpilih Anggota DPR Secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2009 bertanggal 24 Mei 2009.

Sedangkan di lain pihak, berpandangan bahwa seluruh sisa suara dari seluruh Dapil itulah yang disetor ke tingkat provinsi untuk penghitungan kursi tahap ketiga calon anggota DPR tersebut.
Melalui Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009, Mahkamah telah menguatkan pandangan terakhir ini. Dalam salah satu amar putusannya, Mahkamah menyatakan, "Seluruh sisa suara sah partai politik yaitu suara yang belum diperhitungkan dalam tahap I dan tahap II dari seluruh daerah pemilihan provinsi dijumlahkan untuk dibagi dengan jumlah sisa kursi dari seluruh daerah pemilihan provinsi yang belum teralokasikan untuk mendapatkan angka BPP yang baru" (vide Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 hlm. 133).

Dengan adanya Putusan Mahkamah a quo ini Keputusan KPU Nomor 259/Kpts/KPU/TAHUN 2009 tentang Penetapan Perolehan Kursi Partai Politik Peserta Pemilihan Anggota DPR dalam Pemilu Tahun 2009 bertanggal 11 Mei 2009 dan Keputusan KPU Nomor 286/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Calon terpilih Anggota DPR Secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2009 bertanggal 24 Mei 2009 dibatalkan.

Masalah yang kemudian muncul adalah, bagaimanakah tata cara pengalokasian kursi tahap ketiga calon anggota DPR setelah dilakukan penghitungan kursi tahap ketiga itu sendiri? Bagaimanakah cara menentukan calon anggota DPR terpilih yang berhak untuk menduduki kursi dari hasil penghitungan kursi tahap ketiga itu? Terlebih lagi dihubungkan dengan adanya Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009.

Mengacu pada Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilu, Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009, Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009, dan Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009, hemat penulis, ada beberapa hal yang perlu dicermati berkaitan dengan tata cara pengalokasian kursi tahap ketiga calon anggota DPR.

Pertama, bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 a quo tidak menguji Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilu, Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009.
Dalam Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 pada paragraf [3.24] hlm. 131, dinyatakan:

Menimbang bahwa dalam perkara a quo Mahkamah tidak menguji Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilu, Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009, tetapi menetapkan pelaksanaan ketentuan Pasal 205 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) UU 10/2008 karena Undang-Undang a quo merupakan sumber hukum bagi Mahkamah dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum menurut Pasal 24C UUD 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah;

Oleh karena Mahkamah tidak menguji Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilu, Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009, dengan demikian membuka ruang munculnya pendapat yang menyatakan bahwa selain menyangkut penafsiran mengenai sisa suara yang diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap ketiga calon anggota DPR -- yang kemudian telah dijawab Mahkamah Konstitusi dalam putusan a quo, maka Peraturan KPU tersebut masih tetap berlaku.

Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 mengatur secara pokok bahwa pengalokasian atau penempatan perolehan kursi partai politik untuk tahap ketiga anggota DPR diberikan pada partai politik dari daerah pemilihan (Dapil) yang masih mempunyai sisa kursi dimana sisa suara partai politik yang bersangkutan adalah paling banyak, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (2).

Dengan demikian, prinsip yang diatur oleh Peraturan KPU bahwa alokasi atau penempatan kursi dari hasil penghitungan kursi tahap ketiga diberikan dengan mengacu pada sisa suara partai politik terbanyak, dan kemudian dari Dapil tersebut ditentukan siapa calon anggota DPR yang mempunyai suara terbanyak. Jadi, bukan langsung diberikan kepada calon anggota DPR yang mempunyai suara terbanyak. Namun demikian, dalam Peraturan KPU ini, acuan sisa suara terbanyak partai politik itu dibandingkan diantara Dapil-Dapil lain (horizontal) dan sekaligus diantara partai politik lain (vertikal).

Kedua, dalam amar Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 hlm. 133 angka 6, Mahkamah menyatakan bahwa calon anggota DPR yang berhak mendapatkan atas kursi -- dari hasil penghitungan kursi tahap ketiga -- adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak dalam daerah pemilihan yang masih mempunyai sisa kursi.

Mahkamah menyebutkan dalam amar putusannya:
• Menetapkan penerapan Pasal 205 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang benar adalah sebagai berikut:
...
6. Calon anggota DPR yang berhak atas kursi adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak dalam daerah pemilihan yang masih mempunyai sisa kursi, yang dicalonkan oleh partai politik yang berhak atas sisa kursi; (hlm. 133)

Bunyi amar Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 sebagaimana tersebut diatas menimbulkan pertanyaan mengenai apakah maksud dan pengertian frase kalimat, "... calon yang mendapatkan suara terbanyak..." itu? Apakah maksud dan pengertian dari “calon yang mendapatkan suara terbanyak” ini setelah ditentukan terlebih dahulu Dapil dimana sisa suara partai politik terbanyak, atau sebaliknya bukan dimaksudkan setelah ditentukan Dapil dimana sisa suara partai politik terbanyak atau dengan kata lain bahwa alokasi atau penempatan kursi langsung diberikan kepada calon anggota DPR yang mempunyai suara terbanyak.

Dan ketiga, adanya Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009 yang menyatakan bahwa Pasal 25 Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 pembentukannya bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan lebih tinggi yaitu Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 205 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) dan karenanya tidak sah dan tidak berlaku untuk umum. Dalam Putusasn a quo, MA juga memerintahkan kepada KPU untuk membatalkan dan mencabut Pasal 25 Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009.

Putusan MA ini menjawab dalil Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 25 Peraturan KPU bertentangan dengan asas proporsionalitas. Sebab akan proporsional jika Peraturan Komisi Pemilihan Umum menentukan bahwa partai politik yang memiliki BPP yang didahulukan, dan jika lebih dari satu yang memiliki BPP baru dilihat jumlah suara terbanyak dari anggota parpol yang memiliki BPP, bukan dilihat dari jumlah suara terbanyak tetapi parpolnya tidak memiliki BPP (Bilangan Pembagi Pemilihan).
Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 penghitungan perolehan kursi tahap ketiga dilakukan dengan cara seluruh sisa suara Partai Politik peserta Pemilihan Umum dikumpulkan di Provinsi untuk menentukan Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang baru di Provinsi tersebut. Namun demikian, Pasal 25 Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 justru tidak mensyaratkan adanya Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang baru di Provinsi sebagai pedoman untuk menentukan siapa yang mendapatkan sisa kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Provinsi tersebut.

Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009 mengacu dan mendasarkan pada Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009.

Berdasarkan pada Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009, Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 dan Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009, hemat penulis, sebenarnya sudah dapat ditarik kesimpulan mengenai tata cara pengalokasian kursi tahap ketiga calon anggota DPR: pertama, pengalokasian kursi tahap ketiga calon anggota DPR diberikan dengan mengacu pada sisa suara partai politik terbanyak.

Kedua, acuan sisa suara partai politik terbanyak tersebut bukan dibandingkan diantara Dapil-Dapil lain (horizontal) dan sekaligus diantara partai politik lain (vertikal), sebagaimana dianut oleh Peraturan KPU 15 Tahun 2009 Pasal 25. Akan tetapi, yang menjadi acuan sisa suara terbanyak adalah dengan mendahulukan partai politik yang mempunyai sisa suara dari seluruh daerah pemilihan provinsi yang belum diperhitungkan dalam tahap I dan II yang jumlahnya lebih besar atau sama dengan BPP yang baru. Kemudian, kalau ternyata tidak terdapat partai politik yang mempunyai sisa suara lebih atau sama dengan BPP baru, maka sisa kursi dibagikan menurut urutan sisa suara yang terbanyak dalam provinsi dimaksud. Hal ini berarti acuan sisa suara partai politik terbanyak dibandingkan hanya diantara Dapil-Dapil lain (hanya secara horizontal).

Dan Ketiga, dari Dapil tersebut kemudian ditentukan siapa calon anggota DPR yang mempunyai suara terbanyak.

Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 sesungguhnya menegaskan bahwa yang menjadi pengalokasian kursi tahap ketiga calon anggota DPR adalah berbasis pada sisa suara partai politik terbanyak. Dalam amar Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 hlm. 133 angka 2, angka 4, angka 6, dan angka 7 telah secara tegas dan eksplisit bahwa alokasi atau hak kursi diberikan kepada partai politik. Partai politiklah yang mendapatkan alokasi atau berhak atas kursi tahap ketiga, tidak langsung kepada kepada calon anggota DPR yang mempunyai suara terbanyak.

Partai politik yang didahulukan untuk mendapatkan sisa kursi dalam penghitungan kursi tahap ketiga adalah yang mempunyai sisa suara dari seluruh daerah pemilihan provinsi yang belum diperhitungkan dalam tahap I dan II yang jumlahnya lebih besar atau sama dengan BPP yang baru. Kemudian, kalau ternyata tidak terdapat partai politik yang mempunyai sisa suara lebih atau sama dengan BPP baru, maka sisa kursi dibagikan menurut urutan sisa suara yang terbanyak dalam provinsi dimaksud.

Dengan begitu, jika ada penafsiran terhadap amar Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 hlm. 133 angka 6 dengan menyatakan bahwa maksud dan pengertian dari “calon yang mendapatkan suara terbanyak” bukan dimaksudkan setelah ditentukan Dapil dimana sisa suara partai politik terbanyak atau dengan kata lain bahwa alokasi atau penempatan kursi langsung diberikan kepada calon anggota DPR yang mempunyai suara terbanyak, sangatlah tidak beralasan. Sebab, kalau dibaca secara seksama amar Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 hlm. 133 angka 6 itu terdapat anak kalimat yang berbunyi, “ … yang dicalonkan oleh partai politik yang berhak atas sisa kursi”. Anak kalimat itu menggarisbawahi bunyi kalimat sebelumnya, “Calon anggota DPR yang berhak atas kursi adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak dalam daerah pemilihan yang masih mempunyai sisa kursi…”. Dengan demikian, alokasi kursi tahap ketiga tersebut merupakan hak partai politik, kemudian partai politik akan mengalokasikan kursi itu kepada calon yang mendapatkan suara terbanyak dalam daerah pemilihan yang masih mempunyai sisa kursi.

Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 pada prinsipnya juga mengatur bahwa pengalokasian atau penempatan perolehan kursi partai politik untuk tahap ketiga anggota DPR diberikan pada partai politik dari daerah pemilihan (Dapil) yang masih mempunyai sisa kursi dimana sisa suara partai politik yang bersangkutan adalah paling banyak. Hanya masalahnya adalah, bahwa acuan sisa suara terbanyak partai politik menurut ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (2) Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 adalah dibandingkan diantara Dapil-Dapil lain (horizontal) dan sekaligus diantara partai politik lain (vertikal). Acuan secara horizontal dan vertikal sebagaimana ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (2) Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 ini telah dibatalkan oleh Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009.

Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009 yang mengacu dan mendasarkan pada Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009 demikian halnya telah memperkuat tata cara pengalokasian kursi tahap ketiga calon anggota DPR dengan berbasis pada sisa suara partai politik terbanyak dengan mendahulukan partai politik yang mempunyai sisa suara yang jumlahnya lebih besar atau sama dengan BPP yang baru, sebagaimana ditetapkan dalam Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009.

Argumentasi bahwa hasil penghitungan Tahap Ketiga adalah merupakan hak atau jatah kursi partai politik --bukan secara langsung diberikan kepada calon yang mendapatkan suara terbanyak-- secara tegas juga diatur dalam ketentuan Pasal 205 ayat (7) dan Pasal 206 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu).

Ketentuan Pasal 205 ayat (7) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disebut: UU Pemilu), yang menyebutkan:

Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan cara memberikan kursi kepada partai politik yang mencapai BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan.

Kemudian juga sebagaimana maksud ketentuan Pasal 206 UU Pemilu yang menyatakan:
Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dengan BPP DPR yang baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205, penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi kepada Partai Politik Peserta Pemilu di provinsi satu demi satu berturut-turut sampai semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak.

Dari apa yang telah dikemukakan diatas, KPU kiranya perlu segera melakukan langkah berkaitan dengan tata cara pengalokasian kursi tahap ketiga calon anggota DPR. Dalam hal ini KPU harus secepatnya membatalkan dan mencabut ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (2) Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 dan selanjutnya melakukan revisi atas Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 dengan menyesuaikan pada Putusan MK-RI No. 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009, Putusan MA-RI Nomor 18P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009 dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu).

Dan untuk mewujudkan adanya kepastian dan rasa keadilan dalam penentuan tata cara pengalokasian kursi tahap ketiga anggota DPR, maka KPU harus memastikan model tata cara pengalokasian kursi tahap ketiga anggota DPR yang final sebagai landasan dalam penentuan hal tersebut.

Langkah KPU seperti itu perlu dilakukan oleh karena penentuan tata cara pengalokasian kursi tahap ketiga anggota DPR tersebut bukan saja karena menyangkut "nasib" orang dalam hal ini calon anggota DPR yang berpeluang jadi dalam penghitungan dan pengalokasian kursi tahap ketiga. Lebih dari itu, hal ini penting dilakukan oleh KPU sebagai bentuk penghargaan demokrasi atas suara warga Negara yang telah menentukan pilihannya terhadap calon anggota DPR dimaksud.

Read More......

MAHKAMAH KONSTITUSI TELAH PUTUSKAN TATA CARA PENGHITUNGAN KURSI TAHAP KEDUA

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009 telah menjawab secara tegas mengenai pro kontra tata cara penghitungan kursi tahap kedua untuk anggota DPR.

Sebelum ada Putusan Mahkamah Konstitusi aquo, Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) telah mengeluarkan Putusan MA-RI Nomor 15P/HUM/2009 tanggal 18 Juni 2009 yang membatalkan dan mencabut pasal 22 huruf (c) dan 23 ayat (1) dan (3) Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilu, Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009.
Menurut Putusan MA ini bahwa pasal 22 huruf (c) dan 23 ayat (1) dan (3) Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 bertentangan dengan isi Pasal 205 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Karena sudah secara jelas dan tegas bahwa isi Pasal 205 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2008 adalah mengatur tentang sisa kursi.
MA membenarkan bahwa penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada partai politik yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50 % (lima puluh perseratus) dari BPP DPR. Pasal 205 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2008 ini tidak mengatur bahwa partai politik yang telah mendapat kursi di tahap pertama hanya bisa mengikutsertakan sisa suara dalam penghitungan kursi tahap kedua. Meskipun sisa suara partai politik itu tidak lebih dari 50 % (lima puluh perseratus) dari BPP DPR namun tetap mendapat kursi karena yang dihitung bukan suara sisanya, melainkan suara aslinya. Karena Pasal 205 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2008 itu menyebutkan, partai politik yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50 % (lima puluh perseratus) dari BPP DPR, bukan sisa suara.
Dengan demikian, Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 pasal 22 huruf (c) dan 23 ayat (1) dan (3) yang menyebutkan hanya sisa suara yang diikutsertakan dalam penghitungan perolehan kursi tahap kedua dinilai MA telah bertentangan dengan UU.
Putusan MA-RI Nomor 15P/HUM/2009 tanggal 18 Juni 2009 menyangkut tata cara penghitungan kursi tahap kedua untuk anggota DPR sebagaimana diatas secara materiel kemudian menjadi tidak berlaku menyusul keluarnya Putusan MK-RI Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009. Dalam putusannya itu, MK menyatakan bahwa frasa “suara” pada Pasal 205 ayat (4) UU 10/2008 harus dimaknai sebagai: 1). Sisa suara yang diperoleh partai politik setelah dipergunakan untuk memenuhi BPP; 2). Suara yang belum dipergunakan untuk penghitungan kursi sepanjang mencapai 50% dari BPP.
Mahkamah berpendapat Pasal 205 ayat (4) UU 10/2008 adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Artinya, konstitusional sepanjang dimaknai bahwa penghitungan tahap kedua untuk penetapan perolehan kursi DPR bagi partai politik peserta Pemilu dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Menentukan kesetaraan 50% (lima puluh perseratus) suara sah dari angka BPP, yaitu 50% (lima puluh perseratus) dari angka BPP di setiap daerah pemilihan Anggota DPR;
2. Membagikan sisa kursi pada setiap daerah pemilihan Anggota DPR kepada partai politik peserta Pemilu Anggota DPR, dengan ketentuan:
a. Apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta Pemilu Anggota DPR mencapai sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari angka BPP, maka partai politik tersebut memperoleh 1 (satu) kursi.
b. Apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta Pemilu Anggota DPR tidak mencapai sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari angka BPP dan masih terdapat sisa kursi, maka:
1) Suara sah partai politik yang bersangkutan dikategorikan sebagai sisa suara yang diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap ketiga; dan
2) Sisa suara partai politik yang bersangkutan diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap ketiga.
Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa meskipun UU tentang Mahkamah Konstitusi menentukan putusan Mahkamah bersifat prospektif, akan tetapi untuk perkara a quo, karena sifatnya yang khusus, maka putusan a quo harus dilaksanakan berlaku surut untuk pembagian kusi DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota hasil Pemilu Legislatif Tahun 2009 tanpa ada kompensasi atau ganti rugi atas akibat-akibat yang terlanjur ada dari peraturan-peraturan yang ada sebelumnya. Dan oleh karena Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3), dan Pasal 212 ayat (3) UU 10/2008 telah dinilai oleh Mahkamah sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), maka dengan sendirinya semua isi peraturan atau putusan pengadilan yang tidak sesuai dengan putusan ini menjadi tidak berlaku karena kehilangan dasar pijakannya.
Putusan MK-RI Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009, dengan sendirinya berarti menguatkan tata cara penghitungan kursi tahap kedua untuk anggota DPR yang telah dilakukan sebelumnya oleh KPU dengan landasan Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 pasal 22 huruf (c) dan 23 ayat (1) dan (3).

Read More......

Saturday, August 15, 2009

Catatan MK atas Kinerja KPU dalam Pilpres 2009

Melalui Putusannya Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009 tertanggal 12 Agustus 2009 dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Calon Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) selain telah menolak seluruh permohonan yang diajukan Pemohon, yaitu Pasangan Capres dan Cawapres H.M. Jusuf Kalla - H. Wiranto, SH dan Pasangan Capres dan Cawapres Hj. Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri - H. Prabowo Subianto. Juga telah memberikan catatan atas kinerja lembaga penyelenggara Pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pertama, MK telah memberikan catatan kepada KPU yang telah memberikan kuasa kepada Jaksa Agung yang kemudian diwakili secara substitutif oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN) dalam persidangan Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU).

MK menyatakan agar perlu dipertimbangkan baik oleh KPU maupun Jaksa Agung selaku penerima kuasa khusus dari KPU dan secara substitutif diwakili oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN) dalam persidangan PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini, menurut Mahkamah, mengingat bahwa terdapat perbedaan posisi antara KPU sebagai penyelenggara Pemilu yang harus mandiri dan netral di satu pihak dan Jaksa Agung di lain pihak sebagai institusi yang langsung berada di bawah Presiden, karena ada kemungkinan bahwa Presiden incumbent justru sebagai pemohon dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden yang berhadapan dengan KPU sebagai pihak Termohon.

Kedua, mengenai adanya keterlibatan International Foundation for Electoral Systems (IFES) dalam proses penghitungan Pilpres tahun 2009. Meski memang diakui belum terdapat bukti-bukti bahwa bantuan pihak asing tersebut merupakan manifestasi adanya campur tangan pihak asing dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, namun demikian menurut Mahkamah seyogianya di masa depan bantuan pihak asing tersebut dihindari agar tidak menimbulkan kecurigaan dan mengganggu netralitas penyelenggara Pemilu.

Ketiga, berkaitan dengan Daftar Pemilih Tetap (DP) Pilpres tahun 2009. Mahkamah menyatakan bahwa KPU telah terbukti melakukan pemutakhiran DPT yang melampaui tenggat waktu sebagaimana
ditentukan oleh Undang-Undang sehingga demikian KPU dapat dianggap melanggar asas kepastian hukum.

Namun demikian, menurut Mahkamah, akan tetapi perubahan DPT yang dilakukan oleh KPU didasari atas asas kemanfaatan bagi seluruh pihak, tidak terkecuali bagi para pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, KPU memiliki alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden) dalam mengeluarkan kebijakan untuk memperbaharui DPT melewati jangka waktu yang telah ditetapkan Undang-Undang.

Lebih lanjut menurut Mahkamah bahwa DPT yang berubah-ubah tidak dapat menyebabkan Pemilu menjadi tidak sah, sebab adanya asas kemanfaatan bagi kepentingan warga negara dan agenda ketatanegaraan. Akan tetapi, secara formal KPU telah melakukan pelanggaran prosedur dan berlaku tidak professional sebagaimana dinyatakan juga secara resmi oleh Bawaslu di dalam persidangan Mahkamah bertanggal 6 Agustus 2009.

Keempat, KPU terkesan kurang kompeten dan kurang profesional, serta kurang menjaga citra independensi dan netralitasnya karena mudah dipengaruhi oleh berbagai tekanan luar. Mahkamah menyatakan, “Kelemahan KPU sebagai penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang mudah dipengaruhi oleh berbagai tekanan publik, termasuk oleh para peserta Pemilu, sehingga terkesan kurang kompeten dan kurang profesional, serta kurang menjaga citra independensi dan netralitasnya.”

Read More......